Sidang perkara penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama atau lebih dikenal dengan Ahok berlangsung pada Senin, 13 Februari 2017.
Dalam persidangan tersebut dihadirkan Prof. Maryuni yang merupakan seorang pengajar di Universitas Mataram, NTB, sebagai saksi ahli bahasa Indonesia. Prof. Maryuni yang merupakan saksi yang dihadirkan Jaksa penuntut umum (JPU) menegaskan bahwa tidak ada perbedaan semantik (arti) di antara kalimat “Dibohongi pakai surat Al-Maidah” dan “Dibohongi surat Al-Maidah”.
Mahyuni beranggapan bahwa bahkan bila arti yang dimaksud dua kalimat berbeda, penggunaan kata dibohongi sendiri sudah memiliki konotasi negatif, dan sudah menempelkan makna negatif ke surat Al-Maidah.
Mahyuni yang mengaku sudah melihat secara lengkap video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang dipermasalahkan dalam kasus ini mengutarakan bahwa kompetensi dari sang pembicaralah yang akan menjadi barometer penilaian dari ucapan seseorang.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa terdapat kejanggalan di mana Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Mahyuni memiliki kesamaan dengan Husni Muadz yang juga merupakan saksi yang dihadirkan dengan kapasitas sebagai ahli bahasa. Kesamaan tersebut bahkan juga termasuk kesalahan dalam pengetikan kata “tidak” menjadi “tidka”. Tim pengacara Ahok juga sudah beberapa kali mengajukan keberatan dengan mengatakan saksi yang dihadirkan tidak independen.